Judul lengkapnya "Indonesia Out of Exile: How Pramoedya's
Buru Quartet Killed a Dictatorship", sebuah buku baru diterbitkan Penerbit
Pinguin yang ditulis Max Lane, peneliti dan aktifis Australia yang sejak akhir
tahun 1970an telah melibatkan dirinya dalam kemelut politik Indonesia.
Buku ini merupakan karyanya yang paling mutakhir yang
menggambarkan keterlibatannya yang dalam dengan politik Indonesia yang menjadi
sangat represif sejak 1965. Penculikan dan pembunuhan sejumlah Jendral pada
tengah malam sampai menjelang pagi pada tanggal 30 September 1965 itu telah
dijadikan alasan untuk menumpas habis hingga ke-akar-akarnya golongan kiri di
Indonesia.
Marxisme, salah satu isme dari tiga isme yang pernah ditulis
Bung Karno muda tahun 1926 ketika usianya masih 25 tahun, sejak 1965 menjadi
momok yang tak punya hak hidup di Indonesia. Ketiga isme yang dikemukakan Bung
Karno di Harian Suluh Indonesia Muda 2 tahun sebelum Sumpah Pemuda (1928) dan
pada tahun yang sama saat terjadi pemberontakan komunis di Banten dan Sumatera
Barat melawan kolonialisme; itu adalah: Islam, Marxisme dan Nasionalisme.
Setelah tahun 1965 Indonesia seperti berjalan dengan dua kaki,
ketika salah satu kakinya diamputasi oleh Suharto. Sejak itu Indonesia
sesungguhnya tumbuh dengan kaki baru, kapitalisme plus militerisme.
Sejarah gerakan politik dan nasionalisme Indonesia yang dimulai
awal abad 20 dan melewati tonggak-tonggak penting 1908, 1928,1945 seperti
terhenti pada tahun 1965. Sebagai bagian dari pembasmian komunisme adalah
diasingkannya ribuan mereka yang dianggap komunis ke Pulau Buru di Maluku.
Menarik bagaimana pemerintahan Suharto memilih Pulau Buru sebagai gulag
Indonesia.
Pengasingan sebagai strategi untuk melumpuhkan kekuatan
orang-orang yang bisa mengguncang kekuasaan telah dijalankan sebelumnya oleh
Belanda. Saat itu juga mereka yang dianggap komunis setelah terjadi perlawanan
bersenjata di Banten dan Sumatera Barat tahun 1926. Para nasionalis itu
diasingkan ke Boven Digoel di Papua. Mereka yang dituduh komunis dan dianggap
terlibat pada pemberontakan 1926 itu baru dibebaskan ketika tentara Jepang
menduduki Indonesia dengan mengungsikan mereka ke Australia. Sebagian dari mereka
baru kembali ke Indonesia setelah kemerdekaan.
Pengasingan sebagai politik migrasi dengan demikian telah
dimulai oleh Belanda. Ketika pemerintahan militer Orde Baru di bawah Jendral
Suharto menggunakan politik migrasi untuk mengasingkan mereka yang dianggap
komunis setelah peristiwa 1965 dengan demikian mengulang sejarah kolonialisme.
Bedanya setelah 1965 kolonialisme itu dilakukan oleh penguasa terhadap
bangsanya sendiri. Inilah ironi sejarah Indonesia.
Max Lane sengaja menyusun bab-bab dalam buku ini dengan tujuan
menarik pembaca muda untuk masuk dalam sejarah penting bangsanya. Sebuah
penggalan sejarah yang selama ini sengaja dikubur untuk menghilangkan jejak
penindasan oleh sebuah pemerintahan diktator militer terhadap bangsanya
sendiri. Dengan Pramoedya Ananta Toer, seorang novelis, sebagai tokoh kunci
yang ikut diasingkan ke Pulau Buru dan menjalani kerja paksa (forced Labor)
lebih dari 10 tahun disana. Max Lane dalam buku barunya ini menunjukkan bagaimana
politik migrasi menghasilkan sebuah perlawanan puitik melalui kwartet novel
Pulau Buru.
"Out of Exile" adalah sebuah bentuk politik perlawanan
terhadap rejim penindas tanpa menggunakan senjata, tanpa mengandalkan
kekerasan, sebuah perlawanan puitik. Melalui empat buku yang ditulisnya dalam
masa pembuangan di kepulauan gulag Indonesia, Pramoedya dengan cara yang hampir
mustahil secara menakjubkan menuliskan keempat novel Pulau Buru-nya. Bumi
Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca; adalah kisah
bersambung dengan tokoh Minke, yang diinspirasi oleh tokoh sejarah, jurnalis
pertama Indonesia, Tirto Ardisoerjo. Tirto Adisoerjo juga diasingkan oleh
Belanda ke Ternate.
Pengasingan dan pembuangan adalah bentuk "forced
migration", politik migrasi yang terbukti ditiru oleh rejim Orde Baru
setelah sebelumnya dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pulau Buru
sebagai tempat pembuangan ribuan tahanan politik yang dituduh sebagai komunis
bisa dilihat sebagai bentuk kolonisasi rejim Orde Baru. Orde Baru juga
meneruskan kebijakan emigrasi Belanda menjadi program transmigrasi
besar-besaran, pemindahan penduduk Jawa ke pulau-pulau di luar Jawa yang
dianggap kosong, sepert Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, kepulauan Maluku dan
Papua.
Migrasi adalah strategi politik Orde Baru untuk meng-kolonisasi
nusantara. Dalam pandangan Jendral Suharto orang-orang di luar Jawa perlu
di-Jawa-kan agar Indonesia tumbuh sebagai bangsa yang selaras dan harmonis.
Politik migrasi Orde Baru memperoleh perlawanan puitik dari
tempat pembuangan berupa cerita dari Buru tentang fajar kebangsaan yang
berhasil diselundupkan dan diterbitkan oleh Hasta Mitra, sebuah lembaga
intelektual yang didirikan tiga serangkai tapol yakni Joesoef Iskak, Pramoedya
Ananta Toer dan Hasjim Rachman. Dengan sangat menarik Max Lane menggambarkan
bagaimana tiga serangkai itu menggerakkan Hasta Mitra, lagi-lagi dengan niat
melawan represi dengan resistensi puitik-nya.
Ke-empat novel Pramoedya yang bermigrasi mengarungi laut,
"Out of Exile", seperti lepas dari rantai besi yang membelenggunya,
merasuk seperti benang-benang sutera yang halus menyelinap dalam benak para
pembacanya, sebagian besar anak muda dan menjadi puisi perlawanan yang indah,
menginspirasi gerakan protes pemuda dan mahasiswa, menggulingkan kediktatoran
yang selama tiga dekade telah menindas bangsanya sendiri.
Membaca buku ini hari ini, seharusnya mengingatkan kita semua
bahwa penindasan itu, kediktoran itu, sesungguhnya belum benar-benar tumbang
apalagi mati. Ibarat Rahwana dalam dunia pewayangan kediktatoran itu hanya
berubah muka, hatinya tetap sama, tingkah lakunya sama, menindas bangsanya
sendiri.
*Penulis merupakan demografer politik tanah air. Pernah menjadi
peneliti LIPI/BRIN. Tulisan-tulisannya tentang demografi, komunitas adat,
kebudayaan (cagar budaya dan sastra) terbit dalam bentuk buku, jurnal dan
dimuat di pelbagai koran nasional dan media online.