“Mendung masih
tersisa di langit,” begitu Bli Putu Fajar Arcana memulai percakapan tidak lama
usai memasuki mobil yang membawa kami dari Bandara Sultan Taha Saifuddin ke
Taman Budaya Jambi (TBJ) di Sungai Kambang, Kota Jambi, sekira pukul 08.30an
sehari lepas (04/10). Sean Hadi Popo yang mengemudikan mobil membenarkan hujan
lebat mengguyur Kota Jambi dini hari, setelah belakangan ini suhu panas kota
Jambi membuat gerah.
Ini kali kedua Bli
Can, begitu ia akrab disapa, mengunjungi Tanah Pilih Pusako Betuah,
kota Jambi. Namun, adalah sua pertama saya dengannya. Lain hal dengan Sean Hadi
Popo yang sudah berinteraksi sebelumnya. Selama ini saya hanya membaca cerita
pendek dan esai-esai kebudayaan karya pria asal Bali itu di Kompas edisi Minggu
maupun buku berjudul Epilog. Diakui Bli Can, ia telah menulis 12 buku dalam
rentang dua puluh tahun terakhir.
Perjumpaan dengan pria kelahiran 10 Juli 1965 ini menambah daftar perjumpaan saya dengan sastrawan asal Bali, sebut saja seperti mas Warih Wisatsana dan Wayan Jengki Sunarta. Karya mereka berdua, termasuk sastrawan muda seperti Ni Made Purnamasari dan Frischa Aswarini serta sejarahwan Slamat Trisila, pemilik penerbit Larasan, juga masih saya baca sampai sekarang. Selain itu, penulis Bali yang masih saya baca karya tulisnya adalah jurnalis Tempo cum sastrawan yang kini menjadi pendeta yaitu Putu Setia (nama pena dari Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda) melalui buku berjudul Bali Menggugat, Wartawan Menjadi Pendeta: Sebuah Otobiografi dan Novel Memoar: Lentera Batukaru serta karya penulis Gde Aryantha Soethama melalui bukunya berjudul Menitip Mayat di Bali. Masih ada satu lagi penulis asal Prancis yang memilih tinggal dan beraktivitas di Bali sejak 1975, yang esai-esai bernasnya kerap saya baca yaitu Jean Couteau. Pertemuan saya pertama kali dengan Jean Centeau terjadi saat Kongres Kebudayaan di Yogyakarta tahun 2013. Boleh dikata dari ketiga penulis terakhir inilah saya membaca perspektif kritis merespon dinamika kebudayaan Bali sebagai daerah tujuan wisawatan domestik maupun mancanegara dengan segala paradoks turutannya.
Kehadiran Bli Can di
Taman Budaya Jambi kali ini memenuhi undangan Pusat Kebudayaan Jambi yang
menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “Apa yang Bisa Ditulis dari Jambi?”.
Sebagai moderator diskusi, sudah barang tentu menjadi pintu masuk bagi saya
melihat dari dekat khazanah pengetahuan sekaligus pengalaman Bli Can selama
bertungkus lumus di lapangan kebudayaan, yang keselurahannya berpangkal pada
dunia jurnalistik (khususnya liputan seni-budaya) dan penulisan kreatif seperti
cerita pendek, esai, dan naskah drama.
“Lo, orang Bali kok ngomong Jambi, sejak kapan yang bersangkutan melakukan riset dan menulis tentang budaya Jambi”? Sangat mungkin pertanyaan demikian itu terbesit dalam pikiran peserta diskusi yang hadir di ruang belajar TBJ. Benar saja, sebelum itu muncul, Bli Can memulai pemaparannya dengan mengatakan bahwa dirinya baru dua kali ke Jambi, dan itu artinya pengetahuannya tentang Jambi sangat terbatas atau tidak jauh lebih baik dari para peserta yang hadir, yang notabene datang dari pelbagai profesi, sebut saja seperti pengajar sastra dan seni di kampus, sastrawan, jurnalis, praktisi budaya, guru, penulis sejarah, pegiat film, perwakilan komunitas literasi, dan mahasiswa.
Beberapa kali Bli
Can menyebut Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muaro Jambi yang ia kunjungi
setahun lalu, dan dari situ ia melihat langsung betapa peradaban masa lalu
Jambi sungguh luar biasa, dan sejatinya itu adalah salah satu modal untuk
membangkitkan kekuatan bagi kebangunan kebudayaan Jambi di lapangan yang lebih
luas ke depannya, tentu dengan upaya serius menggali keistimewaan yang pernah
tumbuh dan berkembang melalui kawasan bersejarah tersebut dan menemukan
relevansinya dengan situasi global sekarang.
Maka, lanjut Bli
Can, paparannya di hadapan peserta bertitimangsa pada satu hal utama yaitu
bagaimana mencermati khasanah kebudayaan
daerah tempatan (dalam hal ini Bumi Pucuk Jambi Sembilan Lurah)
dengan kacamata yang lebih kreatif dan menarik sehingga menjadi bekal yang
cukup menuliskannya ke dalam medium kreatif seperti cerita pendek, novel,
puisi, esai dan karya kreatif lainnya seperti film dan fotografi.
Gagasan demikian itu selaras dengan
proses pencermatannya terhadap perkembangan kebudayaan Bali (dimana ia tumbuh
dan besar) sekaligus persinggungannya dengan banyak penulis lintas usia maupun
pelbagai komunitas sastra di daerah-daerah di Indonesia yang pernah ia kunjungi
serta pengalamannya mengkurasi ratusan karya sastra baik itu puisi, cerpen dan
esai untuk dimuat di Kompas edisi Minggu. “Lokalitas itu nyatanya menjadi bahan
baku dasar bagi banyak penulis di Indonesia menuliskannya ke dalam bentuk
cerpen, esai dan puisi. Sayangnya, dari banyak penulis muda yang karya-karyanya
dimuat di media nasional (dalam hal ini Kompas sebagai salah satu contoh),
sangat jarang datang dari penulis asal Jambi. Yang muncul justru penulis muda
dari daerah seperti NTB, NTT, dan Madura. Sedangkan penulis dari daerah seperti
Yogyakarta, Bali, Jakarta, Sumatera Barat sudah teruji sampai sekarang berkat
ekosistem yang dibangun,” ujarnya.
Dari situlah, hemat saya paparan Bli
Can sejalan dengan tujuan dan maksud di balik tajuk diskusi kali ini yaitu “Apa
yang Bisa Ditulis Dari Jambi”. Dengan kata lain, pengetahuan sekaligus
pengalaman panjang Putu Fajar Arcana diharapkan dapat menstimulasi
penulis-penulis muda Jambi untuk menulis pelbagai karya kreatif berbasis
kebudayaan Jambi (tangible-intangible) ke dalam medium sastra yaitu cerita
pendek, novel, puisi, esai, dan bentuk alternatif lainnya seperti film, naskah
teater, fotografi dan lain sebagainya. Seturut hal itu, Bli Can tidak hanya
membentangkan keberhasilan penulis daerah-daerah lain di Indonesia, melainkan
juga faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam perkembangannya.
Satu hal yang menarik buat saya dari
seorang Bli Putu Fajar Arcana adalah prinsip jurnalisme yang dianut Kompas
yaitu “Menulis itu dimulai dari Kaki, bukan dari kepala” menjadi sesuatu yang
penting, dan karena itu ia pegang sampai sekarang dalam membuat karya tulis,
apapun bentuk dan jenisnya, selain produk jurnalistik itu sendiri. Kaki itu
dimaksudkan bahwa si jurnalis (begitu juga buat penulis) harus turun ke lapangan
melihat langsung peristiwa yang terjadi. Bukan semata mengandalkan “kepala”
yaitu pengetahuan berupa informasi dari buku maupun pernyataan orang
lain. Selain itu, bagi Bli Can, karya tulis bermutu akan tercipta bila
disokong dengan riset dan sumber literatur yang memadai. Secara jangka panjang,
karya tulis bagus akan terus tumbuh bila disertai apresiasi sekaligus kehadiran
ruang-ruang aktualisasi bagi penulis atau komunitas literasi dalam bentuk
sayembara, festival, diskusi dan bentuk-bentuk lainnya yang relevan seiring
kehadiran platform media sosial sekarang ini.
Faktanya, di banyak daerah di
Indonesia, ruang-ruang demikian itu tidak berjalan secara berkesinambungan,
dengan segala faktor yang menyebabkannya, sehingga kita belum dapat melihat
pengaruh positifnya bagi kelahiran penulis-penulis bermutu melalui karya yang
dihasilkannya. Akhirnya, saban tahun mulai lagi dari nol dan begitu seterusnya.
Tentu ini problem yang perlu dibicarakan secara serius ke depan oleh pelbagai
pihak, terutama dukungan dari pemangku kepentingan di daerah.
Saya menyaksikan peserta diskusi
antuasias mendengar paparan dari Putu Fajar Arcana. Bahkan, sebagai contoh,
pada konteks perkembangan kebudayaan Bali, peserta menjadi tahu nama-nama
penulis asing yang ikut memperkenalkan Bali ke pentas dunia melalui publikasi
tulisan mulai dari seni lukis, fotografi, sastra dan kajian antropologi, beberapa di antaranya oleh intelektual asing yaitu
Roelof Goris, Rudolf Bonnet, Walter Spies, Clifford James Geertz, Gregor
Kraus, dan Miguel Covarrubia. Termasuk Bli Can menceritakan perkembangan Tari
Kecak yang terkenal itu, yang dibuat oleh Wayan Limbak dan pengembangannya
bersama Walter Spies tahun 1930-an.
“Sebuah daerah, termasuk Bali, bisa
berkembang bukan karena semata berkat karya kreatif orang-orang daerah itu
sendiri, melainkan juga berkat keterlibatan secara aktif orang-orang yang
datang dari daerah luar. Tentu saja itu penting asal bergerak dalam tradisi
budaya yang inklusif, sehingga bisa mendatangkan kemajuan dengan tetap menjaga
akar sejarah-budaya daerah tempatan,” ungkap Putu Fajar Arcana.
Demikian yang saya tangkap sepanjang
mengikuti paparan Bli Can di Ruang Belajar Taman Budaya Jambi, lalu makan
bareng di sebuah warung rumahan khas makanan Jambi. Kemudian, disaksikan hujan
lebat, lanjut ngobrol (lagi) di kantin dan berlanjut ke ruang belajar TBJ
bersama budayawan Jafar Rassuh, Kepala Taman Budaya Jambi Eri Argawan, Ketua
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Suwendi, Nukman Plt Balai Bahasa Provinsi
Sumatera Selatan, pegiat teater Titas Suwanda dan Sean Popo Hadi, pengajar di
UIN STS Jambi. Dalam obrolan itu, muncul percikan gagasan seputar isu
kebudayaan yang bisa ditindaklanjuti ke depan untuk kemajuan seni dan budaya
Jambi. Saran atau masukan dari Bli Can yang sudah malang melintang di lapangan
kebudayaan menemukan relevansinya. Apatahlagi, perjalanan jurnalistiknya selama
ini telah mengantarnya mencapai kota-kota di dunia seperti Athena, Yunani
(2003), Paris, Prancis (2003/2007), Brussel, Belgia (2007), Koln, Jerman
(2007), Luksemburg (2007), Singapura (2003/2004/2007), Bangkok, Thailand (2004),
Rusia dan India.
Tidak terasa jarum jam menujukkan
pukul 16.50an WIB. Hujan sudah mulai reda. Putu Fajar Arcana melanjutkan
perjalanannya ke Muara Bulian, Batanghari, memenuhi undangan Komunitas Gumulun.
Esoknya, ia akan mendampingi 24 peserta turun ke lapangan di Kawasan Benteng
Muarotembesi dan Desa Rambutan Masam. Di situ peserta diajak mengungkai
pelbagai ide berdasarkan temuan lapangan maupun cerita dan fakta seputar dua
lokasi bersejarah di daerah berkultur tua di Kabupaten Batanghari itu, yang selanjutnya
ditulis ke dalam karya kreatif cerita pendek di bawah binaan langsung Bli Can.
Semoga melalui tangan dingin seorang Putu Fajar Arcana akan muncul
penulis-penulis muda asal Jambi yang mumpuni.
*Kota Jambi, 05 Oktober 2024.